Kisah Kepemimpinan Meri di Desa Oelomin

Meri Meriana Henderina Afi merupakan ibu bagi seorang putri berusia 11 tahun, sekaligus Ketua Kelompok Difabel Desa (KDD). Ia tinggal di Desa Oelomin. “Di balik kegelapan yang menyelimuti pandangan saya, Tuhan menitipkan sebuah cahaya untuk saya bagikan kepada sesama”, tuturnya kepada tim GARAMIN.

“Perjalanan saya sebagai difabel sensorik netra dimulai pada tahun 2020. Semua berawal dari mata yang terasa gatal. Pemeriksaan di Puskesmas Pembantu meresepkan saya obat tetes mata. Namun, bukannya membaik, penglihatan saya justru semakin meredup. Saya dirujuk ke Rumah Sakit Kartini Kota Kupang. Hanya saja, harapan untuk sembuh pupus ketika dokter menyatakan operasi tidak mungkin dilakukan karena tensi mata yang terlalu tinggi. Dokter mendiagnosis saya menderita glaukoma. Setelah tiga bulan melakukan rawat jalan, saya memutuskan untuk berhenti. Saya berserah, meyakini bahwa di balik setiap ujian, pasti ada maksud Tuhan yang indah”.

Sebelum pendampingan GARAMIN melalui program Solider dari Sigab Indonesia dan INKLUSI, hidup sebagai seorang difabel di desa adalah sebuah perjuangan melawan stigma. Berbagai stigma timbul dalam pergaulan keseharian orang di desa membatasi ruang ekspresi dan partisipasi rekan-rekan difabel dalam pembangunan di desa. Berbagai  sebutan dalam bahasa lokal cenderung mendiskriminasi dan menyinggung perasaan rekan-rekan difabel. Mereka yang memiliki keterbatasan fisik disebut, ‘haetuka’, ‘nimtuka’, atau ‘cacat’. Bagi mereka yang mempunyai keterbatasan intelektual dicap  ‘akoot’ atau bodoh’. Selanjutnya, mereka yang tuna netra dipanggil ‘mat folo’ atau ‘orang buta’, dan untuk yang tuli disapa ‘akosot’.

“Kata-kata itu lebih menyakitkan dari keterbatasan fisik kami yang sudah kami miliki”, kenang Meri.

Perlahan-lahan, perubahan mulai tampak ketika GARAMIN melalui program Solider dari Sigab Indonesia dan INKLUSI, masuk ke desa Oelomin. Pandangan masyarakat desa dan pemerintah mulai berubah. Kami yang tadinya terpinggirkan, mulai mendapatkan tempat dan diterima di tengah-tengah warga desa. Pada tahun 2022, Meri bergabung dalam KDD. Motivasinya sederhana, ia ingin berada di sebuah rumah, sebuah tempat di mana sesama difabel bisa berkumpul, saling mendukung, dan menjadi keluarga. KDD dianggap sebagai benteng rekan-rekan difabel, tempat berlindung dan menemukan kekuatan bersama di Desa Oelomin.

Meri menjelaskan dengan antusias.

“Pada Oktober 2023, teman-teman memberikan kepercayaan besar kepada saya untuk memimpin KDD. Amanah ini saya jalankan dengan sepenuh hati. Saya dan pengurus lainnya berusaha menjaga KDD tetap solid. Kami saling mengunjungi jika ada anggota yang sakit atau berduka. Dalam pertemuan rutin bulanan, kami selalu membuka ruang bagi setiap anggota untuk berbagi cerita, agar ikatan kami semakin erat dan rasa memiliki terhadap kelompok ini semakin kuat.”

Perubahan dirasakan pada tingkat komunitas dan tingkat individu. Perubahan pada tingkat komunitas nyata pada mingkatnya partisipasi dalam berbagai kegiatan di berbagai tingkat, dan pada tingkat individu, muncul rasa percaya diri.

“Kini suara kami didengar. Jika ada rapat di tingkat dusun, kecamatan, bahkan kabupaten, mewakili teman-teman, saya menyuarakan apa yang menjadi tantangan kami. Setiap kembali, saya membawa oleh-oleh berupa “cerita baik” dan pengetahuan baru untuk kami semua. Hubungan kami dengan pemerintah dan masyarakat desa menjadi lebih solid. KDD selalu diundang dalam setiap kegiatan desa dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Hak-hak dasar kami perlahan terpenuhi, bahkan urusan administrasi kependudukan kini bisa diakses dengan mudah karena petugas datang langsung dan melayani kami di desa”, tuturnya.

Desa inklusi bukan lagi sekadar slogan. Pemerintah Desa mulai memberikan perhatian lebih. Bantuan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan pangan, dan PKH kini menjangkau lebih banyak rekan-rekan difabel. Diskriminasi yang dulu menjadi keseharian, kini perlahan tergerus. Selain keterampilan, pelatihan dan penguatan kapasitas yang diterima oleh rekan-rekan difabel di desa juga membantu rekan difabel dan warga desa dalam memperbaiki sudut pandang terhadap rekan-rekan difabel dan menjadikan mereka lebih percaya diri dan mandiri. Meri melanjutkan,

“Perubahan terbesar saya rasakan dalam diri saya sendiri. Pelatihan-pelatihan yang saya ikuti menumbuhkan rasa percaya diri yang luar biasa. Walaupun tidak bisa melihat, saya bisa menjadi mandiri. Dinding dapur tak lagi menjadi penghalang; saya bisa memasak, mencuci, mengurus diri sendiri, bahkan merawat suami dan anak semampu saya. Saya sangat bersyukur untuk semua itu”.

KDD akan menjadi semakin maju dan solid dalam kerja samanya dengan Pemerintah Desa. Menurut Meri, Pemerintah Desa Oelomin dan KDD bisa terus bergandengan tangan mempertahankan desa yang setara dan iklusi ini. Untuk masyarakat luas, semoga pemahaman tentang rekan difabel terus bertumbuh meruntuhkan sekat-sekat di antara kita.

Meri menutup percakapan dengan dengan ucapan terimakasih.

“Saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Fasilitator Desa, GARAMIN NTT, Sigab Indonesia dan INKLUSI yang telah memberi kami begitu banyak pengalaman berharga. Terima kasih juga kepada Pemerintah Desa Oelomin yang telah memotivasi kami. Semoga KDD terus berlanjut dan desa kami semakin inklusif. Saya selalu memegang teguh prinsip hidup saya: Bersukacita dalam pengharapan, sabar dalam kesesakan, dan bertekun dalam doa. Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, maka kamu akan menerimanya”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *