Priskila Sinamohina adalah seorang Kader di Posyandu Tunas Muda 1, Desa Kuaklalo, yang kini menjadi pelopor pelayanan inklusif bagi penyandang disabilitas. Di posyandu tersebut tercatat 8 penyandang disabilitas, 5 laki-laki dan 3 perempuan yang dulunya kerap menghadapi pandangan yang keliru dari masyarakat, termasuk Priskila sendiri.
Sebelum September 2022, perhatian terhadap penyandang disabilitas di desa Kuaklalo sangat minim. Masyarakat, termasuk para kader posyandu, terbiasa menggunakan istilah kasar seperti ‘orang buta’, ‘orang tuli’, atau ‘kaki cacat’. Bahkan ada yang berangapan bahwa difabel hanya akan merepotkan jika datang ke posyandu.
Pandangan negatif ini mengakar kuat. Difabel dianggap sebagai beban bagi orang lain sebab hidupnya bergantung pada orang lain. Akibatnya, difabel enggan datang ke posyandu. Ada yang terkendala jarak, ada yang tidak diantar keluarga, bahkan ada keluarga yang malu membawa anggota keluarganya yang difabel keluar rumah. Data difabel pun tidak lengkap, dan para kader merasa canggung dalam memberikan pelayanan.
Titik balik terjadi ketika GARAMIN menghadirkan program SOLIDER (Memperkuat Inklusi Sosial untuk Kesetaraan dan Hak-hak Disabilitas) di Desa Kuaklalo. Program yang dikembangkan oleh SIGAB Indonesia dengan dukungan dari Program INKLUSI ini memberikan pelatihan dan sosialisasi mengenai hak-hak difabel. Pemerintah Desa, di bawah kepemimpinan almarhum Plt. Bapak Petrus C.H. Tabelak, menyambut baik program ini, dan melibatkan seluruh perangkat desa serta kader posyandu.
Langkah pertama adalah pendataan bagi difabel di setiap dusun. Kemudian, sosialisasi digencarkan, dengan penekanan pada difabel juga memiliki hak yang sama atas akses terhadap kesehatan. Jadwal posyandu pun ditetapkan di setiap dusun. Awalnya di tahun 2023, partisipasi rekan difabel masih minim. Untuk difabel dengan kondisi fisik berat seperti Andi Anone, Crismask Panatibana, dan Grace Snae yang memiliki multi-disabilitas, serta Bapak Yakob Sinamohina yang menderita struk, para kader berinisiatif untuk melayani dari rumah ke rumah. Perlahan, sebagian besar difabel mulai hadir secara langsung di posyandu.
Salah satu momen yang mengubah cara pandang Priskila adalah ketika ia mendampingi seorang anak laki-laki dengan multi-disabilitas (down syndrome) bernama Ongki. Awalnya Priskila merasa canggung dan segan berbicara dengan Ongki. Namun, perlahan-lahan rasa canggung itu bermetamorfosis menjadi rasa ingin tahu. Priskila belajar untuk lebih sadar dan mulai melihat Ongki bukan sebagai ‘kasus’, melainkan sebagai seorang individu yang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik dan melihatnya sebagai manusia yang utuh.
Sejak saat itu, pendekatan Priskila terhadap difabel berubah total, yang tadinya canggung, kini menjadi lebih terbuka, ramah dan peduli. Tidak hanya di posyandu, pada kegiatan desa atau acara pesta pun, jika melihat ada difabel, Priskila akan menghampiri dan menawarkan bantuan seperti mengambilkan makan, minum, atau apa saja yang difabel butuhkan. Sehari sebelum posyandu, ia selalu menginformasikan jadwal agar difabel bisa bersiap.
Priskila mengakui bahwa ia menyadari satu hal yang paling mendasar yakni,
“pelayanan yang saya berikan adalah cara saya belajar untuk memanusiakan manusia”, ujarnya.
Pengalaman ini memberikan dampak positif bagi orang-orang di sekitar. Mendampingi difabel kini bukan lagi beban, melainkan sebuah pengalaman yang berharga. Ke depannya, Priskila berharap untuk bisa terus merangkul dan melayani, sekaligus menyuarakan pentingnya kemanusiaan, kesetaraan, dan inklusi. Ia juga bertekad untuk terus memotivasi dirinya dalam kapasitas sebagai seorang kader posyandu yang melayani dengan hati.