
Fransina Nenobesi, 63 tahun, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di RT 010/RW 006, Dusun 4, Desa Oben. Ia telah merasakan kepedihan yang mendalam sekaligus menyaksikan kebangkitan yang luar biasa bagi penyandang disabilitas di desanya.
Sebelum adanya pendampingan, para penyandang disabilitas di Desa Oben hidup dalam stigma. Mereka tidak terdata, tidak pernah menerima bantuan, dan pintu musyawarah selalu tertutup bagi mereka. Banyak orang berpikir,
“Buat apa mengundang orang cacat atau orang buta? penyandang disabilitas datang juga tidak tahu mau bicara apa”.
Akibat pandangan ini, rekan-rekan difabel disisihkan karena dianggap tidak memiliki gagasan. Hal ini menciptakan rasa malu dan minder membatasi ruang gerak rekan-rekan difabel.
Fransina mengenang awal masa-masa sulit, saat sebuah peristiwa tragis menimpa dirinya 14 tahun lalu di Jakarta.Peristiwa itu telah merenggut nyawa cucunya, dan membuat tulang paha serta lutut Fransina patah. Sejak saat itu, ia harus hidup sebagai seorang penyandang disabilitas. Belum bisa menerima kenyataan sepenuhnya, pertanyaan “mengapa harus saya?” terus menghantuinya ketika itu. Ia merasa tidak berguna, terkurung dalam keterbatasan yang memaksanya bergantung pada tongkat kayu dan kruk untuk sekadar menyiapkan makan bagi suami dan anak, atau untuk melangkah ke gereja.
Beban fisik itu diperparah oleh beban psikologis dari label yang diciptakan komunitas. Panggilan seperti ‘orang cacat’, ‘orang buta’, atau ‘orang gila, atau ‘mengong’ menjadi sapaan yang akrab di telinga para penyandang disabilitas. Sisa-sisa percaya diri yang rekan difabel miliki pun padam dengan label-label tersebut.
Pada tahun 2022 kabar baik timbul kabar baik. GARAMIN melalui program SOLIDER (Memperkuat Inklusi Sosial untuk Kesetaraan dan Hak-hak Disabilitas) yang dikembangkan oleh SIGAB Indonesia yang didukung oleh Program INKLUSI hadir di Desa Oben, menhadirkan program Desa Inklusi. Perlahan segalanya mulai berubah. Langkah pertama hal yang paling penting dan paling berarti adalah pendataan para penyandang disabilitas. Untuk pertama kalinya Fransina Nenobesi dan rekan-rekan difabel di komunitasnya diakui secara resmi dan dihitung sebagai seorang penyandang disabilitas, sebuah momen yang ia disyukuri.
Kegiatan identifikasi dan pendataan para penyandang disabilitas telah memberikan ruang pengakuan keberadaan rekan difabel yang setara dengan anggota komunitas lainnya di desa Rekan-rekan difaebel diberikan ruang untuk saling mengenal dan membentuk Kelompok Difabel Desa (KDD). Kelompok ini mereka namakan “Meu’sine”, yang dalam bahasa Dawan berarti “Terang” atau “Cahaya”. Mereka ingin menjadi cahaya yang menerangi masyarakat Oben. Keberadaan dan legitimasi kelompok ini diresmikan melalui Surat Keputusan Pemerintah Desa Oben.
Bergabung dengan KDD Meu’sine adalah pengalaman yang mengubah hidup Fransina. Ia yang tadinya hanya terkurung di rumah, kini bisa bertemu, berkenalan, dan berbagi cerita dengan saudara-saudari seperjuangan. Mereka saling melengkapi dan menguatkan dalam doa. Di sinilah ia menemukan pengalaman dan ilmu baru.
Kepercayaan dan tanggung jawab yang besar diberikan kepada Fransina. Selain sebagai anggota KDD, ia juga dipercaya menjadi seorang Paralegal di desa. Walaupun ia seorang penyandang disabilitas, ia diberi kesempatan untuk mendampingi saudara-saudara lain yang berhadapan dengan hukum atau mengalami kekerasan. Ia bangga dengan peran dan tanggung jawab yang ia pikul.
KDD Meu,sine rutin menggadakan pertemuan setiap tanggal 14 dalam bulan. Mereka membahas aktivitas kelompok, mengembangkan usaha bersama berupa pembuatan serundeng ikan, dan mengumpulkan iuran bulanan sebagai dana sosial jika ada anggota yang berduka.
Desa Inklusi bukan lagi sekadar wacana. Kini para penyandang disabilitas selalu dilibatkan dalam musyawarah dari tingkat dusun hingga desa.
“Suara kami didengar, dan kebutuhan seperti modal usaha, pembangunan bidang miring (Ramp) di kantor desa dan fasilitas umum, pemeriksaan kesehatan, hingga pembuatan Kartu Tanda Pengenal (KTP) dan Kartu Keluarga, kini menjadi prioritas”, Fransina menegaskan.
Pihak gereja Ekklesia Taneon Funan pun tak tinggal diam. Melihat kemajuan yang terjadi di desa, mereka membangun sebuah rumah layak huni untuk salah satu anggota penyandang disabilitas psikososial.
Dampaknya terasa nyata. Masyarakat dan pemerintah tidak lagi memandang para penyandang disabilitas sebagai orang yang lemah. Label ‘orang cacat’ sirnah, digantikan oleh pengakuan bahwa rekan-rekan difabel berdaya dan pun mampu berpartisipasi dalam pembangunan apabila diberi kesempatan.
Fransina berharap KDD Meu’sine akan terus berdiri kokoh. Ia akan selalu mendukung program desa inklusi ini dan berharap teman-temannya tetap aktif. Semoga Pemerintah Desa Oben terus mendukung KDD, sehingga kelak Oben bisa menjadi contoh bagi desa-desa lain, dan masyarakat selalu melihat rekan-rekan difabel sebagai bagian yang setara dalam pembangunan. Keyakinan mereka tetap sama,
“Walaupun kami terbatas secara fisik, namun semangat kami untuk membangun desa kami tidaklah terbatas.”