Dalam kehidupan masyarakat, setiap individu termasuk perempuan, anak, lanjut usia, dan penyandang disabilitas, diakui sebagai orang yang memiliki hak serta potensi yang sama dan setara. Penyandang disabilitas adalah bagian penting yang tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Namun, kenyataan sering kali membuktikan gambaran berbeda, terutama bagi penyandang disabilitas. Ketika suara dan kebutuhan spesifik penyandang disabilitas tidak mendukung secara baik dalam siklus perencanaan dan penganggaran pembangunan, penyandang disabilitas secara sistematis berada di belakang dari arus utama kemajuan suatu pembangunan desa. Kondisi ini tidak hanya melupakan, tetapi juga memperkuat stigma, diskriminasi dan berbagai hambatan berlapis yang penyandang disabilitas hadapi. Akibatnya, upaya penyandang disabilitas untuk mencapai kemandirian dan kualitas hidup yang setara dengan warga negara lainnya menjadi semakin sulit.
Konteks di lapangan membuktikan bahwa penyandang disabilitas sering kali berhadapan dengan berbagai hambatan dalam beragam aspek kehidupan, mulai dari akses terhadap pendidikan yang berkualitas, kesempatan memperoleh pekerjaan yang layak,hingga partisipasi penuh dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Jalan penyandang disabilitas sering kali sulit dan berliku. Situasi ini diperburuk oleh minimnya pemahaman dan kesadaran masyarakat umum mengenai isu-isu disabilitas dan harapan dari kesetaraan hak manusia. Hambatan ini mencakup faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal itu meliputi lingkungan fisik yang tidak aksesibel, kebijakan publik yang belum sepenuhnya berpihak, dan sikap sosial yang cenderung dinomorduakan. Sementara itu hambatan internal mencakup rendahnya rasa percaya diri akibat pengucilan dari keluarga dan masyarakat yang masih menganggap disabilitas sebagai beban, aib dari keluarga, atau semata-mata urusan dinas sosial.




Lebih lanjut, penyandang disabilitas sering kali dipandang hanya sebagai kelompok pasif penerima bantuan, bukan sebagai subjek aktif yang memiliki kapasitas untuk terlibat dalam pembangunan. Akibatnya, berbagai program pembangunan yang ada di tingkat desa sering kali belum mampu menjangkau dan memberikan manfaat maksimal bagi penyandang disabilitas. Salah satu akar masalahnya adalah ketiadaan data terpilah yang akurat dan lengkap mengenai jumlah, jenis disabilitas, serta kebutuhan spesifik penyandang disabilitas di tingkat desa. Keterkaitan langsung dari tidak adanya data ini adalah banyaknya penyandang disabilitas yang belum memiliki dokumen kependudukan dasar seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Tanpa identitas legal ini, akses penyandang disabilitas terhadap berbagai program pemerintah, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), program pemberdayaan dari desa, bantuan sanitasi layak (WC sehat), Bantuan Rumah, jaminan kesehatan melalui BPJS, serta berbagai bantuan lain yang bersumber dari Anggaran Dana Desa maupun sumber penganggaran eksternal lainnya, menjadi tertutup. Kenyataannya, dalam forum-forum perencanaan pembangunan di desa, suara dan aspirasi penyandang disabilitas pun kadang tidak terdengar karena minimnya keterlibatan dan representasi dari penyandang disabilitas itu sendiri.
Menyadari kondisi ini, berbagai upaya untuk mendorong terwujudnya masyarakat yang inklusif terus dilakukan oleh berbagai pihak. Kampanye dan advokasi menjadi alat penting dalam perubahan ini. Salah satu organisasi yang berkomitmen untuk menyuarakan kesetaraan hak penyandang disabilitas adalah GARAMIN NTT, yang secara khusus fokus pada isu inklusi disabilitas. Sebagai organisasi yang lahir dari dan untuk penyandang disabilitas di Nusa Tenggara Timur, GARAMIN NTT berjuang untuk pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas dan mengampanyekan pentingnya inklusi dalam segala aspek kehidupan.
Sejak tahun 2022 hingga saat ini, melalui program SOLIDER (Strengthening Social Inclusion for Diffability Equity and Rights) yang merupakan sebuah inisiatif strategis yang dikembangkan oleh SIGAB Indonesia dan didukung oleh program INKLUSI, GARAMIN NTT menjalin kemitraan erat dengan Pemerintah Kabupaten Kupang. Fokus kerja sama ini adalah melakukan pendampingan di enam desa percontohan, yang tersebar di dua kecamatan : Desa Baumata Timur, Desa Kuaklalo, dan Desa Oeletsala di Kecamatan Taebenu, serta Desa Oelomin, Desa Besmarak, dan Desa Oben di Kecamatan Nekamese.
Proses pendampingan yang dilakukan mulai menunjukkan hasil yang transformatif seperti penerimaan penyandang disabilitas di masyarakat. Langkah awal yang penting adalah terbentuknya Kelompok Penyandang disabilitas Desa (KDD) di masing-masing desa dampingan, yang keberadaannya diakui secara formal melalui Surat Keputusan (SK) dari pemerintah desa setempat. Pembentukan KDD ini bukan sekadar formalitas, melainkan memiliki tujuan strategis yang mendalam, yaitu sebagai wadah resmi bagi penyandang disabilitas untuk diakui, diterima, dan dilibatkan secara aktif dalam berbagai kegiatan di masyarakat. KDD berfungsi sebagai platform advokasi bersama-sama yang memiliki dasar di tingkat desa, sebagai sarana untuk mempersiapkan dan memberdayakan anggota penyandang disabilitas agar mampu berpartisipasi secara aktif dan bermakna dalam setiap program dan kegiatan desa, sebagai mitra yang teliti dan bermanfaat bagi pemerintah desa dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan, serta sebagai media komunikasi dan pertukaran informasi yang efektif antara penyandang disabilitas, masyarakat luas dan pemerintah desa. Lebih dari itu, KDD diharapkan menjadi garda terdepan dalam upaya perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di tingkat akar rumput.
Salah satu capaian penting adalah pemutakhiran data penyandang disabilitas yang jauh lebih akurat. Jika sebelumnya, data yang tercatat sering kali tidak menggambarkan kondisi riil misalnya, di Desa Kuaklalo hanya ada 15 orang, Oeletsala 25 orang, Baumata Timur 22 orang, Besmarak 8 orang, Oben 12 orang, dan Oelomin 44 orang. Setelah pembentukan KDD dan penguatan kapasitas perwakilan penyandang disabilitas melalui pelatihan pendataan partisipatif, angka-angka ini mengalami peningkatan signifikan. Kini, Desa Kuaklalo mencatat 43 orang, Oeletsala 58 orang, Baumata Timur 68 orang, Besmarak 35 orang, Oben 32 orang, dan Oelomin 40 orang. Akurasi data ini menjadi landasan utama bagi pemerintah desa dalam menyusun perencanaan pembangunan yang lebih responsif dan inklusif.
Tidak berhenti pada pendataan, KDD juga mulai menginisiasi pertemuan rutin secara mandiri. Forum ini menjadi ruang aman bagi penyandang disabilitas untuk saling mengenal, berbagi pengalaman, mendiskusikan tantangan dan kebutuhan bersama, serta merumuskan aspirasi kolektif yang kemudian disampaikan secara resmi kepada pemerintah desa melalui mekanisme musyawarah dusun. Keterlibatan penyandang disabilitas semakin menguat dengan masuknya perwakilan penyandang disabilitas sebagai anggota Tim 11 dan Tim 7 Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes). Ini adalah posisi strategis yang memungkinkan penyandang disabilitas mengawal langsung agar perspektif disabilitas terintegrasi dalam dokumen perencanaan desa. Bahkan, beberapa anggota KDD telah dipercaya untuk menempati amanah kepemimpinan di tingkat desa, seperti menjadi Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Ketua Rukun Warga (RW), serta menjadi anggota dan pengurus aktif Karang Taruna, lembaga adat dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Partisipasi aktif KDD juga mencakup berbagai kegiatan kemasyarakatan, termasuk keterlibatan dalam pemeriksaan kesehatan rutin setiap bulan melalui pos pembinaan Terpadu (Posbindu). Didorong oleh advokasi KDD dan pendampingan GARAMIN NTT, pemerintah desa menjalin kerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melakukan layanan jemput bola pembuatan E-KTP dan Kartu Keluarga bagi penyandang disabilitas, lansia, dan masyarakat umum lainnya yang belum memiliki dokumen. Dari sisi aksesibilitas fisik, kesadaran mulai tumbuh dengan dibuatkannya bidang miring (ramp) di beberapa tempat publik utama seperti Gereja, kantor desa, Pustu, PAUD, dan balai dusun.
Aspek penganggaran yang inklusif pun menjadi perhatian. Desa-desa dampingan mulai mengalokasikan anggaran khusus untuk mendukung kegiatan penguatan kapasitas KDD, seperti pelatihan public speaking, marketing digital, serta dukungan untuk usaha produktif seperti kelompok ayam petelur dan bantuan alat serta bahan bagi penyandang disabilitas yang memiliki usaha mandiri. Perubahan positif juga terlihat pada penyebutan yang lebih menghargai, pembedaan perlakuan mulai hilang, penggunaan istilah “penyandang disabilitas” ataupun penyebutan nama secara langsung. Pemerintah desa pun berkomitmen menjamin perlindungan, penghormatan, dan pemberdayaan bagi kelompok rentan melalui Peraturan Desa Inklusi.
Partisipasi bermakna penyandang disabilitas dalam pembangunan di desa merupakan kunci utama untuk mencapai tujuan pembangunan desa yang inklusif, adil, dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat. Ini adalah praktik nyata dari komitmen global untuk memastikan bahwa “tidak ada seorang pun yang tertinggal” (leaving no one behind), menjamin setiap individu dapat berkontribusi dan menikmati hasil pembangunan secara setara.

Elmi Ismau