Juara 3. Pelatihan jurnalisme warga
oleh: Petronela Sau Naikofi
Tulisan ini saya dasarkan pada paradigma yang berkembang di lingkungan hidup tempat saya tinggal, terutama paradigma terhadap penyandang disabilitas dan perempuan, baik di dalam keluarga maupun di tengah masyarakat.
Pembicaraan mengenai diskriminasi gender tidak akan pernah habisnya. Kebanyakan masyarakat masih terjebak dalam paradigma patriarki yang menganggap perempuan tidak lebih dari pelengkap saja. Pelengkap mengandaikan bahwa tanpa peran perempuan semua akan baik-baik saja. Bahkan dalam banyak kasus, perempuan malah dianggap sebagai beban, dan lain sebagainya. Akibatnya, tidak sedikit perempuan berakhir di ‘dapur’ dan ‘kasur’. Bidang-bidang lain, seperti ekonomi, politik, pemerintahan, dirasa sebagai tempat yang tabu bagi kaum perempuan, bahkan dalam pembagian harta warisan perempuan juga dinomorduakan. Fenomena ini membuktikan bahwa diskriminasi gender masih kental hingga sekarang.
Selain diskriminasi gender, ada pula jenis diskriminasi lain yakni diskriminasi disabilitas. Tidak perlu disangkal bahwa masyarakat entah secara sadar atau tidak, melakukan praktik ableisme, yakni menunjukan sikap diskriminasi kepada orang-orang dengan keterbatasan fisik, mental, intelektual, ataupun sensorik. Kaum disabilitas sering sulit mendapat kepercayaan lantaran dianggap tidak mampu, bahkan dinilai menyusahkan. Maka tidak mengherankan kalau banyak kaum disabilitas hanya diberi bantuan langsung tanpa ada upaya pengembangan lebih lanjut, seperti memberi fasilitas untuk pemberdayaan sekaligus dukungan atas usaha yang dirintis oleh kaum disabilitas. Kalau pun hal ini dilakukan, tetapi seperti yang terlihat, usaha ini belum mencapai titik yang diharapkan bersama, titik tanpa diskriminasi. Pada kasus-kasus tertentu, seperti yang saya alami, dua pola diskriminatif ini bisa menghantam satu orang individu, yakni perempuan dengan disabilitas. Seorang perempuan disabilitas mengalami double diskriminasi, baik diskriminasi gender maupun praktik ableisme. Namun, halangan ini sebenarnya tidak cukup kuat jika kita juga ditopang oleh orang-orang terdekat seperti orang tua, saudara, atau kenalan, yang terus memberi dukungan dan pengakuan yang berarti. Dukungan yang paling konkrit terwujud dari kesempatan yang diberikan kepada perempuan disabilitas untuk bisa bersekolah. Untuk detailnya bisa dilihat dalam pengalaman saya di bawah ini.
Saya sebagai anak sulung dari enam bersaudara dan dilahirkan dalam keadaan non disabilitas. Setelah umur 1 tahun saya mengalami sakit panas tinggi dan disuntik sehingga menjadi disabilitas daksa (polio) seumur hidup. Di dalam keluarga saya diperlakukan oleh orang tua dan saudara-saudara dengan sangat baik, tidak ada pembatasan, bahkan saya diberi kesempatan untuk bersekolah dan diterima di sekolah regular sampai tingkat perguruan tinggi serjana (S1). Sejak dini saya juga sudah dibina dan dididik oleh orang tua untuk optimis dan percaya diri, sehingga saya tidak pernah merasa minder atau malu dengan keadaan saya. Bahkan saya menjadi contoh dalam keluarga pada khususnya dan masyarakat di tingkat lingkungan atau desa pada umumnya, untuk mendorong agar anak-anak harus diberi kesempatan untuk bersekolah dari tingkat SD sampai perguruan tinggi.
Pada waktu saya masih muda, jarang sekali ditemui orang yang bersekolah sampai tingkat SLTA apalagi Perguruan Tinggi. Masyarakat setempat masih terkungkung dalam pola pikir kuno yang berpatokan pada leluhur atau suku adat, dimana yang boleh bersekolah hanyalah anak-anak guru dan pegawai, anak kepala desa, atau paling tidak anak tokoh adat, sehingga masyarakat saat itu menganggap pendidikan itu hal tabu yang berunjung pada pandangan bahwa pendidikan itu tidak penting bagi masyarakat biasa.
Selain itu, di daerah saya juga masih sangat kental budaya patriarki dimana seorang perempuan tidak diperkenankan untuk beesekolah sampai perguruan tinggi dengan alasan remeh bahwa perempuan tidak ada kekuatan untuk mengangkat nama suku. Karena setelah menikah seorang perempuan akan pindah ke suku suaminya. Perempuan hanya dianggap sebagai ‘yang melahirkan’ sehingga sangat berdampak bagi perlakuan buruk masyarakat terhadap perempuan-perempuan yang tidak bisa memberi keturunan seperti halnya yang saya alami.
Terlepas dari masalah-masalah budaya di atas, saya bersyukur karena meskipun orangtua saya adalah petani sekaligus juga tidak pernah bersekolah, mereka bisa membebaskan diri budaya regresif yang berkembang. Ini semua berkat para missionaris Katolik dari luar negeri bertugas di daerah kami yang dengan sabar memberikan pemahaman untuk orang tua saya bahwa Petronela (nama saya) harus sekolah karena dia pintar. Bahwa syarat bersekolah tidak bergantung pada jenis kelamin dan tidak boleh dibatasi oleh keterbatasan fisik. ‘Petronela menjadi contoh di tengah masyarakat dan keluarga dengan keadaan fisik yang terbatas, bisa sekolah, semangat dan tidak malu’. Itulah motivasi dari missionaris Katolik untuk orang tua saya sehingga membentuk diri saya untuk hidup mandiri dan menjadi motivasi untuk keluarga dan masyarakat di desa (Desa Tapenpah) terutama di bidang pendidikan.
Saya bersyukur karena saya sebagai perempuan dengan disabilitas yang tinggal di wilayah penuh paradigma diskriminatif terhadap saya tetap bisa mandiri. Dan karena itu juga saya merasa wajib dan bertanggung jawab untuk bersuara, meminta kembali hak kami sebagai manusia, karena setiap orang, dalam keadaan apa pun mempunyai hak. Ketika hak itu dicabut maka ini merupakan problem kemanusiaan yang patut diakhiri.
Untuk itu dalam tulisan ini saya akan mengemukakan beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengakhiri diskriminasi. Saya menyarankan adanya kerja sama dari semua pihak, dalam hal ini dibutuhkan keterlibatan multi-agen sebagai berikut:
Agen yang pertama ialah pemerintah. Sistem sosial dan budaya yang diskriminatif seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah yang mempunyai otoritas adalah pihak yang paling diharapkan untuk menindaki hal ini terutama lewat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Dalam filsafat sosial politik kita mengenal apa yang namanya tanggung jawab sosial negara, yang mana dalam satu pointnya berbicara tentang keberpihakan negara terhadap kaum minoritas yang dilemahkan oleh sistem yang ada dalam masyarakat. Secara konkrit, pemerintah bisa membuat sekolah-sekolah inklusif yang mempunyai sarana dan fasilitas bagi kaum disabilitas.
Kedua, perempuan disabilitas. Keberhasilan perempuan disabilitas untuk mendapat haknya sangat bergantung pada diri perempuan disabilitas itu sendiri. Perempuan disabilitas harus menanamkan optimism dalam benaknya bahwa dalam segala keterbatasannya, dia bisa melakukan sesuatu yang berguna, baik bagi dirinya, masyarakat, maupun negara. Adalah sebuah kesalahan besar jika perempuan disabilitas sendiri yang memulai pesimisme atas dirinya. Percuma negara menciptakan suasana kondusif bagi pemberdayaan perempuan disabilitas, jika mereka sendiri merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Pola pikir yang keliru ini harus dibuang jauh-jauh. Yang seharusnya dilakukan ialah memberikan tanggapan antusias terhadap program-program dan kebijakan pemerintah. Hal ini harus dilihat sebagai kesempatan emas untuk menunjukkan kepada dunia bahwa perempuan disabilitas juga bisa jika diberi kepercayaan. Atau seperti yang saya alami langsung, kiranya pendidikan menjadi suatu kekuatan atau bekal yang harus dimiliki oleh perempuan dengan disabilitas supaya pada nantinya ia bisa mandiri. Perempuan dengan disabilitas harus melepaskan diri dari sikap rendah diri sehingga malu ketika disuruh pergi ke sekolah.
Ketiga, masyarakat umum. Kita harus tahu bahwa ada korelasi tidak terlepaskan antara pengakuan dan identitas. Bahwa identitas seseorang atau seseorang mengidentifikasi dirinya dari pengakuan dari subjek-subjek lain. Contohnya, seorang anak yang sering dikatai bodoh akan mengidentifikasi dirinya sebagai anak yang bodoh. Dia akan rendah diri, merasa tidak akan bisa bangkit dengan cara apapun, karena di kepalanya sendiri, dia adalah anak yang bodoh. Begitu pun halnya ketika masyarakat selalu berpikir bahwa perempuan disabilitas adalah individu yang tidak berguna dalam kehidupan masyarakat (apalagi pemikiran berlangsung lama) maka lambat laun, entah disadari atau tidak, perempuan disabilitas juga akan melihat dirinya sendiri sebagai individu yang tidak berguna. Singkatnya pengakuan yang keliru, apalagi tidak adanya pengakuan dari masyarakat terhadap perempuan disabilitas akan menciptakan identifikasi yang keliru dari pihak perempuan disabilitas tentang dirinya. Jika masyarakat mengubah pola pikir ini maka secara perlahan akan meningkatkan kepercayaan diri perempuan disabilitas. Lebih jauh, masyarakat pada umumnya, dan keluarga pada khususnya harus memberikan ruang bagi perempuan dengan disabilitas untuk mengembangkan kemampuannya seperti memberikan kesempatan bersekolah dan lain sebagainya.
Keempat, organisasi masyarakat. Pihak ini menjadi pihak yang dirasa sangat penting lantaran melaluinyalah perempuan disabilitas bisa bersuara lebih lantang, melaluimya suara perempuan disabilitas bisa didengarkan. Sudah banyak organisasi diinpirasi oleh perempuan dengan disabilitas atau dipimpin oleh perempuan dengan disabilitas. dengan kategori ini, seperti Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Ketua Umum PERTUNI, PERSANI, GARAMIN NTT, YTTM, juga MASIH banyak organisasi tingkat daerah lainnya.Kehadiran ormas seperti ini bisa dilihat sebagai wadah bagi semua perempuan disabilitas untuk mengembalikan kepercayaan diri dan optimismenya, menggemakan kemampuannya, menggapai haknya kembali. Ini adalah kekuatan besar yang perlu digalakkan demi tercapainya cita-cita mulia perempuan disabilitas. Dibekali oleh rasa percaya diri, serta optimis dan membangun jejaring dengan berbagai pihak baik dengan pemerintah, organisasi yang bergerak di issu disabilitas, NCO, bersama berjuang menuju kesetaraan hak-hak disabilitas yang bermartabat.
Kiranya dengan kerja sama multi-agen yang berpusat pada upaya pemeberian kesempatan bersekolah kepada perempuan disabilitas, dan pada bidang lainnya, dapat mengakhiri pola-pola diskriminatif yang berkembang dalam masyarakat.
Saya, Petronela Sau Naikofi, secara tegas mengatakan bahwa saya merupakan bukti kekuatan pendidikan dalam mengangkat seseorang ke permukaan. Saya teringat akan sebuah petuah dari negeri seberang, long live education ( Pendidikan Sepanjang Hayat ). Bahwa belajar itu tidak mengenal usia, tidak mengenal gender, tidak mengenal apakah dia itu seorang disabilitas atau tidak. Kita Setara, Salam Inklusi.